Monday, June 17, 2013

Susanto Membantah

Susanto Membantah - Budi bersaksi di sidang perkara korupsi pengadaan simulator berkendara untuk ujian mendapatkan surat izin mengemudi yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (11/6). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Suhartoyo.
”Tadi ada pencairan simulator berkendara roda dua Rp 48 miliar, kemudian Saudara jelaskan dari Rp 48 miliar itu dipotong Rp 27 miliar oleh BNI, Rp 21 miliar diberikan kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia. Kalau ada yang menyatakan setelah mendapat pencairan proyek, Rp 30 miliar digelontorkan kepada terdakwa, apa benar?” tanya penasihat hukum terdakwa, Juniver Girsang.
”Tidak benar, ini buktinya ada,” jawab Budi. ”Cerita uang berkardus-kardus yang miliaran itu apa benar?” tanya penasihat hukum lain, Tommy Sihotang. ”Tidak benar,” kata Budi.
Budi memang mengajukan kredit ke BNI senilai Rp 101 miliar. Kredit diajukan pada akhir 2010, padahal proyek di Korlantas dibahas pun belum. Budi membantah minta rekomendasi Korlantas Polri agar bisa mendapatkan kredit dari BNI. ”BNI pernah bilang ke saya, ’Bud, jangan sekali-kali kerja sama dengan instansi pemerintah’. Bagaimana saya mau minta rekomendasi Korlantas?” kata Budi.
Budi juga berkelit soal bunyi surat pengajuan kredit ke BNI yang menyatakan Budi akan mendapatkan proyek simulator berkendara dari Korlantas Polri.
”Di surat Bapak ke BNI pada November 2010 disebutkan, Bapak diberi kepercayaan Korlantas mengerjakan simulator. Bagaimana bisa Bapak cantumkan ada 700 simulator roda dua dan 556 simulator roda empat?” tanya jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Olivia boru Sembiring. ”Itu kebetulan saja,” jawab Budi.
Saksi mantan Wakil Kepala Korlantas Brigjen (Pol) Didik Purnomo, yang saat itu menjabat pejabat pembuat komitmen (PPK), mengaku hanya menandatangani harga perkiraan sendiri (HPS) yang diajukan panitia. Menurut Didik, panitia membuat HPS berdasarkan pada survei pasar, pelacakan di internet, dan acuan tahun sebelumnya. Namun, terakhir ia mengatakan penentuan HPS atas arahan Kepala Korlantas atau terdakwa.
Didik mengatakan, penetapan panitia pengadaan dilakukan dengan surat perintah dari Djoko Susilo, sedangkan penetapan PPK dengan surat keputusan. Namun, Djoko Susilo mengatakan, ”Semua surat perintah dan surat keputusan melalui Waka (Wakil Kepala Korlantas), baru saya tanda tangan.” (AMR)

No comments:

Post a Comment