Susanto Membantah - Budi bersaksi di sidang perkara korupsi pengadaan simulator
berkendara untuk ujian mendapatkan surat izin mengemudi yang digelar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (11/6). Sidang dipimpin
Ketua Majelis Hakim Suhartoyo.
”Tadi ada pencairan simulator
berkendara roda dua Rp 48 miliar, kemudian Saudara jelaskan dari Rp 48
miliar itu dipotong Rp 27 miliar oleh BNI, Rp 21 miliar diberikan kepada
PT Inovasi Teknologi Indonesia. Kalau ada yang menyatakan setelah
mendapat pencairan proyek, Rp 30 miliar digelontorkan kepada terdakwa,
apa benar?” tanya penasihat hukum terdakwa, Juniver Girsang.
”Tidak
benar, ini buktinya ada,” jawab Budi. ”Cerita uang berkardus-kardus
yang miliaran itu apa benar?” tanya penasihat hukum lain, Tommy
Sihotang. ”Tidak benar,” kata Budi.
Budi memang mengajukan kredit
ke BNI senilai Rp 101 miliar. Kredit diajukan pada akhir 2010, padahal
proyek di Korlantas dibahas pun belum. Budi membantah minta rekomendasi
Korlantas Polri agar bisa mendapatkan kredit dari BNI. ”BNI pernah
bilang ke saya, ’Bud, jangan sekali-kali kerja sama dengan instansi
pemerintah’. Bagaimana saya mau minta rekomendasi Korlantas?” kata Budi.
Budi
juga berkelit soal bunyi surat pengajuan kredit ke BNI yang menyatakan
Budi akan mendapatkan proyek simulator berkendara dari Korlantas Polri.
”Di
surat Bapak ke BNI pada November 2010 disebutkan, Bapak diberi
kepercayaan Korlantas mengerjakan simulator. Bagaimana bisa Bapak
cantumkan ada 700 simulator roda dua dan 556 simulator roda empat?”
tanya jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Olivia boru
Sembiring. ”Itu kebetulan saja,” jawab Budi.
Saksi mantan Wakil
Kepala Korlantas Brigjen (Pol) Didik Purnomo, yang saat itu menjabat
pejabat pembuat komitmen (PPK), mengaku hanya menandatangani harga
perkiraan sendiri (HPS) yang diajukan panitia. Menurut Didik, panitia
membuat HPS berdasarkan pada survei pasar, pelacakan di internet, dan
acuan tahun sebelumnya. Namun, terakhir ia mengatakan penentuan HPS atas
arahan Kepala Korlantas atau terdakwa.
Didik mengatakan,
penetapan panitia pengadaan dilakukan dengan surat perintah dari Djoko
Susilo, sedangkan penetapan PPK dengan surat keputusan. Namun, Djoko
Susilo mengatakan, ”Semua surat perintah dan surat keputusan melalui
Waka (Wakil Kepala Korlantas), baru saya tanda tangan.” (AMR)
No comments:
Post a Comment